Hipermetropiku akan Ketulusanmu
Seorang pria
paruh baya fokus dengan televisi warna 16 inci di hadapannya. Aku hanya bisa
menatap punggungnya dengan senyum datar di balik badannya. Tak ada obrolan
ringan di antara kami. Setengah jam bersamanya, hanya suara pembaca berita dan
wartawan di televisi saja yang terdengar di ruang keluarga ini. Kami saling
diam.
Aku kesal dengan
suasana ini. Pria yang akrab ku panggil Abi itu tak juga membuka obrolan atau
sekedar menanyakan bagaimana sekolahku hari ini. Ya, beliau adalah ayahku.
Keadaan kami memang seperti ini jika hanya berdua dalam satu ruangan. Kami
seperti tenggelam dalam dunia masing-masing meski berada dalam jarak dekat. Terkadang
kami memang mengobrol. Tetapi itu sekedar membahas pembayaran SPP atau pertemuan
orang tua di sekolah. Akhirnya, aku memutuskan masuk ke kamar saja.
Tak lama lagi
aku akan menghadapi Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Akhirnya aku memberanikan diri mengobrol
lebih rileks dengan Abi untuk meminta doa darinya pula agar ujianku lancar. Kami
mengobrol meski tak seakrab hubungan Ayah dan anak yang ku lihat di televisi
atau hubunganku dengan Ummi.
Beberapa minggu
berlalu, aku sudah menghadapi ujian dan aku dihadapkan untuk memilih universitas
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Bi, mbak dapat
kesempatan di SNMPTN Undangan, tanpa tes hanya menggunakan nilai rapor.
Kira-kira pilih Universitas mana ya, Bi?” kataku pada Abi yang sedang membaca
Koran dengan sedikit menekan rasa canggung.
“Memangnya mbak
mau masuk jurusan apa?” tanya Abi yang masih setia dengan korannya.
“Matematika, Bi.
Gimana?”
“Ya udah. Ambil
UNY aja. Bukannya kak Anca bilang mbak pilih kependidikan aja kan?” ujar Abi
padaku. Kak Anca adalah guru lesku selama kelas XII dan memang menyarankanku
untuk memilih Jurusan Pendidikan Matematika di UNY.
Akhirnya, ku
bulatkan tekad memilih jurusan itu. Ummi juga hanya mengangguk setuju ketika ku
tanyakan mengenai hal ini. Wanita yang sudah melahirkanku itu mendukung setiap
keputusanku jika memang sudah bulat.
Tak lama setelah
itu, hasil SNMPTN akan diumumkan di website.
Aku bersama Ummi dan Abi berkumpul di ruang keluarga untuk melihat hasilnya
lewat internet.
“Alhamdulillah,
mbak masuk UNY. Anak Ummi akan jadi pengajar matematika nih.” tiba-tiba Ummi
berkata dengan sedikit heboh, sambil memelukku erat ketika hasilnya sudah
terlihat.
Aku membalas pelukan Ummi dan menangis bahagia
di pundaknya. Abi yang ada di depanku hanya tersenyum dan mengucapkan selamat
padaku. Aku masih belum bisa bersikap dekat padanya,.
Beberapa bulan
berlalu dan kini aku sudah berada di salah satu kost yang tak jauh dari
kampusku, UNY. Aku merasa sepi karena belum memiliki teman. Hampir setiap makan
malam, aku menangis merindukan suasana makan malam bersama keluargaku di
Bengkulu. Aku menghubungi mereka setiap tiga hari sekali untuk memudarkan rasa
rinduku karena baru pertama kali berada jauh –hingga berbeda pulau– dengan
keluargaku,. Aku bercerita banyak hal kejadian di sini dengan Ummi dan
adik-adikku. Sedangkan ketika berbincang dengan Abi, hanya membahas uang kost
dan biaya hidupku. Tetap canggung tak berubah.
Suatu malam, aku
menguhubungi keluargaku seperti biasa.
“Ummi sama adek
udah tidur, mbak.” kata Abi di seberang pulau sana. Sekarang sudah pukul
sembilan malam sih, pantas saja mereka sudah terlelap.
Tanpa terasa,
aku mengobrol dengan Abi. Semua yang biasanya ku ceritakan pada Ummi, ku
ceritakan pula pada Abi. Kejadian di kampus, teman, dan banyak hal yang tak
pernah kami bicarakan. Waktu berjalan cepat dan kami sudah mengobrol sejam. Abi
menutup telepon karena malam sudah semakin larut dan menyuruhku beristirahat.
Oh, Tuhan, ini nyata. Aku mengobrol seru dengan Abi. Aku kembali mengingat
obrolan kami dan aku hanya tersenyum sendiri sambil menitikkan air mata haru. Abi,
ternyata kita bisa begitu akrab.
Aku makin merasa
bahagia ketika hasil ujian beberapa mata kuliahku kurang memuaskan. Tentu bukan
nilai yang membuatku bahagia, tapi Abi yang dengan sabar menasehati dan
menyemangatiku untuk tidak terlalu kecewa. Abi mengatakan, aku sudah melewati
satu semester dengan maksimal dan mengerjakan ujian dengan jujur. Itu sudah
baik, Sekarang saatnya untuk belajar lebih keras. Jangan menjadikan hasil ujian
pertama ini membuatku terpuruk. Aku harus bersyukur dan bangkit.
Abi, terimakasih
nasehatmu, dan maafkan aku. Aku baru menyadari betapa kau menyangiku dengan diammu,
perhatian padaku dengan cuekmu ketika kita sudah terpisah jarak. Seolah aku
benar-benar rabun dekat padamu, pada ketulusan cintamu selama ini. Abi, aku
akan berusaha lebih keras untuk membuatmu bangga. Aku akan membuat keluargaku
bahagia. Bismillah…
**cerita yang dibuat mendadak karena ikut lomba di fb :D alhamdulillah aku bisa menulis cerpen ^_^ 30-1-2013
Ah anak perempuan dengan anaknya, selalu punya cerita romantis :')
BalasHapusah, mbak ihti :3 malu deh.. :D
BalasHapus